TOSKOMI.COM || GAYO LUES – PT Gayo Mineral Resources (GMR) diduga membungkam suara kritis warga yang menolak tambang emas di Kabupaten Gayo Lues bernada ancaman dan dituduh menyebar hoaks. Baihaqi, warga Kampung Suri Musara Pantan Cuaca seorang Petani Kopi, Pencinta Lingkungan dan Anggota LSM Gayo Rimba Bersatu, menerima surat bernada tekanan pada 4 Agustus 2025, setelah ia gencar menyuarakan penolakan terhadap aktivitas perusahaan di media sosial. (Rabu 13/8/2025)
Surat yang ditandatangani oleh General Manager PT GMR, Alfi Syahrin, tersebut menuduh Baihaqi menyebarkan hoaks dan fitnah, serta menuntutnya untuk memberikan klarifikasi tertulis dalam waktu lima hari. Jika tuntutan tidak dipenuhi, perusahaan mengancam akan menempuh jalur hukum.
“Surat ini jelas sebuah bentuk intimidasi dan upaya membungkam suara kami, rakyat kecil yang menyampaikan aspritasinya menolak adanya tambang di daerah kami,” kata Baihaqi, Rabu (13/8/2025).
Baihaqi menilai surat dari PT Gayo Mineral Resources sarat intimidasi. Mereka menuduh tanpa bukti, bahkan tidak menyebutkan unggahan mana yang dianggap hoaks. Saat dirinya mendatangi manajemen perusahaan, mereka tidak mampu menunjukkan konten mana yang menyebarkan hoaks.
“Saat itu manajemen perusahaan tidak mampu tunjukkan konten saya yang hoaks, mereka justru bicara berputar-putar dan disebutkan akan diserahkan ke tim pengacara yang ada di Jakarta,” tegasnya.
Menurutnya, langkah itu adalah cara licik perusahaan untuk menakut-nakuti dirinya dan warga lain agar berhenti menyuarakan penolakan tambang emas. Ia khawatir praktik serupa akan membuat ruang kebebasan berpendapat di Gayo Lues semakin sempit.
“Mereka menuduh tanpa bukti, tidak menyebutkan unggahan mana yang dianggap hoaks. Ini adalah cara licik untuk menakut-nakuti agar saya dan warga lain berhenti bersuara,” ungkapnya.
Menurut Baihaqi, surat tersebut merupakan puncak dari sikap anti-kritik perusahaan. Sebelumnya, pada bulan Juni, masyarakat telah mengirimkan surat penolakan resmi kepada Presiden Prabowo Subianto, dengan tembusan ke pelbagai lembaga negara terkait. Namun, surat tersebut tidak mendapat respons.
“Karena jalur resmi seolah buntu, kami menyuarakan keresahan kami di media sosial. Bukannya membuka dialog, PT GMR justru bermanuver dengan mendekati pejabat daerah pada akhir Juli. Setelah merasa mendapat dukungan, mereka langsung menyasar kami yang di akar rumput dengan surat ancaman ini,” jelasnya.
Ancaman di Hulu, Petani Kopi di Hilir Resah
Kekhawatiran warga Pantan Cuaca bukan tanpa alasan. Lokasi rencana tambang emas PT GMR berada di kawasan hutan lindung pada ketinggian 1.600-1.700 mdpl, yang merupakan hulu dari berbagai sumber air bagi pemukiman warga yang berada di ketinggian 1.100-1.200 mdpl.
Daerah ini dikenal sebagai salah satu lumbung pertanian dan perkebunan utama Gayo Lues, penghasil komoditas unggulan seperti Kopi Arabika Gayo, tembakau, alpukat, dan cabai yang memasok pasar hingga ke Sumatera Utara.
“Daya dukung lingkungan di sini sangat ideal. Kopi kami pernah menjadi juara dunia karena alamnya yang terjaga. Jika tambang ini berlanjut, kami khawatir semua itu akan hilang dalam 20-30 tahun mendatang. Usaha dan ruang hidup generasi kami terancam,” tegas Baihaqi.
Langkah PT GMR yang menembuskan surat tersebut kepada Camat dan Kepala Desa setempat dinilai sebagai strategi tekanan sosial. Tujuannya adalah untuk mengisolasi dan mempermalukan warga yang kritis di lingkungan komunitasnya sendiri.
“Ini adalah pola lama. Perusahaan sengaja menargetkan warga biasa seperti saya, bukan aktivis atau LSM besar, untuk menciptakan efek gentar. Mereka ingin warga lain takut untuk angkat bicara,” ungkapnya.
Baihaqi juga menyoroti ironi keadilan di wilayahnya. Ia menyebutkan, warga hanya ingin berkebun untuk menyambung hidup sering kali dipersulit, bahkan diancam pidana jika masuk kawasan hutan. Namun, perusahaan raksasa yang berisiko merusak lingkungan secara masif justru diberi karpet merah.
“Di mana keadilan untuk rakyat? Jangan mentang-mentang banyak modal, bisa seenaknya menghilangkan ruang hidup kami,” tegasnya.
Sikap PT GMR yang memilih jalur intimidasi hukum ketimbang dialog terbuka menunjukkan krisis legitimasi dan keengganan untuk transparan. Tindakan ini tidak hanya menambah jurang konflik antara perusahaan dan masyarakat terdampak, tetapi juga menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi di tingkat lokal.
“Kasus ini memperkuat citra industri ekstraktif yang sensitif terhadap kritik namun minim akuntabilitas,” (Ril)